PUSAKA SAUJANA: TANA TORAJA
AMANDA AZALIA S - 3TB01
KONDISI GEOGRAFIS & PENDUDUK
Tana Toraja
secara administrasi masuk dalam Kabupaten Toraja, terdiri dari 9 kecamatan dan
32 desa. Luas wilayah 3178 Km2, sebagian besar (40%) terdiri dari pegunungan
dan dataran tinggi (25%). Wilayah Tana
Toraja terletak sekitar 350 Km di utara
kota Makassar, antara 2°40'-3°25' lintang selatan dan 119°30'-120°25' bujur
timur. Di tengah-tengah wilayah berbukit-bukit tersebut terdapat Sungai
Sa’dang yang mengalir dari
utara ke selatan serta berpengaruh secara sosial, budaya dan ekonomi masyarakat
Toraja (Sumalyo, 2001).
Istilah
Toraja Sa'dang dipakai untuk menyebut wilayah dan kelompok etnis di kawasan
Sungai Sa'dang. Sebutan tersebut untuk membedakan dengan kelompok dan tempat
dengan sebutan Toraja-Mamasa, berada di sebelah baratnya beberapa puluh
kilometer, dipisahkan oleh lembah dan gunung. Menurut legenda suku Toraja-
Mamasa berasal dari suku Toraja-Sa'dang yang merantau ke arah barat, tidak
kembali dan membentuk masyarakat Toraja di tempatnya yang baru. Di Tana Toraja
terdapat dua pusat kota, Makale dan Rantepao. Makale berfungsi sebagai pusat
administrasi di selatan, sedangkan Rantepao 18 Km di utara Makale, lebih
berfungsi sebagai pusat pelayanan dan jasa
Menurut
Laporan Kuliah Kerja Toraja 1975 Jurusan Arsitektur Universitas Indonesia dalam
Wegymantung (2009), Suku Toraja yang ada sekarang ini bukanlah suku asli, tapi
merupakan suku pendatang. Menurut kepercayaan atau mythos yang sampai saat ini
masih dipegang teguh, suku Toraja berasal dari khayangan yang turun pada sebuah
pulau Lebukan. Kemudian secara bergelombang dengan menggunakan perahu mereka
datang ke Sulawesi bagian Selatan. Di pulau ini mereka berdiam disekitar danau
Tempe dimana mereka mendirikan perkampungan. Perkampungan inilah yang makin
lama berkembang menjadi perkampungan Bugis. Diantara orang- orang yang mendiami
perkampungan ini ada seorang yang meninggalkan perkampungan dan pergi ke Utara
lalu menetap di gunung Kandora, dan di daerah Enrekang. Orang inilah yang
dianggap merupakan nenek moyang suku Toraja.
Sistem pemerintahan yang dikenal di Toraja waktu
dulu adalah sistim federasi.
Daerah Toraja dibagi menjadi lima daerah yang
terdiri atas :
1. Makale
2. Sangala
3. Rantepao
4. Mengkendek
5. Toraja Barat.
Daerah-daerah
Makale, Mengkendek, dan Sangala dipimpin masing-masing oleh seorang bangsawan yang bernama Puang. Daerah
Rantepao dipimpin bangsawan yang bernama Parengi,
sedangkan .daerah Toraja Barat dipimpin bangsawan bernama Ma’Dika. Didalam menentukan lapisan sosial yang terdapat didalam
masyarakat ada semacam perbedaan yang sangat menyolok antara daerah yang
dipimpin oleh Puang dengan daerah
yang dipimpin oleh Parengi dan Ma’Dika. Pada daerah yang dipimpin oleh Puang masyarakat biasa tidak akan dapat
menjadi Puang, sedangkan pada daerah
Rantepao dan Toraja Barat masyarakat biasa bisa saja mencapai kedudukan Parengi atau Ma’Dika kalau dia pandai. Hal inilah mungkin yang menyebabkan
daerah Rantepao bisa berkembang lebih cepat dibandingkan perkembangan yang
terjadi di Makale.
KEPERCAYAAN
Menurut L.
I. Tangdilintin dalam Yulianto Sumalyo (2001), kepercayaan asli masyarakat
Toraja adalah Aluk Todolo yang artinya agama/aturan dari leluhur (aluk = agama/aturan, todolo = nenek moyang). Menurut ajaran Aluk Todolo, di luar diri manusia
terdapat 3 unsur kekuatan dan wajib dipercayai kebenaran dan kebesarannya,
yaitu Puang Matua, Deata dan To Membali Puang (Todolo).
a. Puang Matua
Aluk Todolo
menurut penganutnya diturunkan oleh Puang Matua atau Sang Pencipta mulanya pada
leluhur pertama yang disebut Datu La
Ukku' yang kemudian menurunkan ajarannya kepada anak cucunya. Oleh karena
itu menurut kepercayaan ini, manusia harus menyembah, memuja dan memuliakan
Puang Matua atau Sang Pencipta diwujudkan dalam berbagai bentuk sikap hidup dan
ungkapan ritual antara lain berupa sajian, persembahan maupun upacara-upacara.
•
Merupakan unsur
kekuatan yang paling tinggi sebagai pencipta alam semesta.
•
Dalam
pelaksanaan persembahan kurban, hewan yang dpersembahkan untuk Puang Matua adalah kerbau, babi dan ayam.
•
Puang
Matua bersemayam di langit / dunia atas
•
Puang Matua memberikan
kebahagiaan sesuai dengan kelakuan, baik atau
jahat.
•
Upacara untuk Puang Matua
dilakukan di Utara / depan tongkonan
b. Deata
Setelah
Puang Matua menurunkan Aluk kepada Datu La Ukku’ sebagai manusia pertama,
kemudian memberikan kekuasaan kepada para Deata
atau Dewa untuk menjaga dan me-melihara manusia. Oleh karena itu Deata di- sebut pula sebagai Pemelihara
yang menurut Aluk Todolo tidak tunggal tetapi di golongan menjadi tiga yaitu:
•
Deata Langi (Sang
Pemelihara Langit menguasai seluruh isi langit dan cakrawala)
•
Deata Kapadanganna (Sang Pemelihara Bumi, menguasai semua yang ada di bumi)
•
Deata Tangngana Padang (Sang Pemelihara Tanah, menguasai isi bumi). Masing-masing golongan
terdiri dari beberapa Deata yang
menguasai bagian- bagian tertentu misalnya gunung, sungai, hutan dan lain-lain.
Upacara untuk deata dilakukan di
sebelah Timur tongkonan.
c. To Membali
Puang
•
To Membali Puang atau Todolo (Leluhur) merupakan
arwah leluhur yang juga diwajibkan dipuja dan disembah karena merekalah yang
memberi berkah kepada para keturunannya dan menempati dunia bawah.
•
Selain memberi
berkah juga bertugas mengawasi perbuatan dan perilaku manusia keturunannya.
•
Upacara untuk to membali puang diadakan di Barat tongkonan.
Upacara Adat (Wegymantung, 2009)
Toraja sangat dikenal dengan upacara
adatnya. Didalam menjalankan upacara dikenal dua macam pembagian yaitu Rambu Solok dan Rambu Tuka.
Rambu Solok merupakan upacara kedukaan
yang meiliputi 7 tahapan, yaitu :
a. Rapasan
b. Barata Kendek
c. Todi Balang
d. Todi Rondon
e. Todi Sangoloi
f. Di Silli
g. Todi Tanaan
Rambu Tuka merupakan upacara kegembiraan, yang juga meliputi 7
tahapan, yaitu :
a. Tananan Bua’
b. Tokonan Tedong
c. Batemanurun
d. Surasan Tallang
e. Remesan Para
f. Tangkean Suru
g. Kapuran Pangugan
Karena mayoritas penduduk suku Toraja
masih memegang teguh kepercayaan nenek moyangnya maka adat istiadat yang ada
sejak dulu tetap dijalankan sekarang. Hal ini terutama
pada adat yang berpokok pangkal
dari upacara adat Rambu Tuka’
dan Rambu Solok. Dua pokok inilah yang merangkaikan upacara-upacara adat
yang masih dilakukan dan cukup terkenal. Upacara adat itu meliputi persiapan
penguburan jenazah yang biasanya diikuti dengan adu ayam, adu kerbau,
penyembelihan kerbau dan penyembelihan babi dengan jumlah besar. Upacara ini
termasuk dalam Rambu Solok, dimana jenazah yang mau dikubur sudah di simpan lama dan nantinya akan dikuburkan di gunung batu.
ORIENTASI
RUMAH
Pandangan Aluk Todolo mengenai angapan tentang alam
raya / makro kosmos diklasifikasikan sebagai berikut (Sumalyo, 2001) :
•
Orientasi Timur Barat
•
Orientasi Utara Selatan
•
Orientasi Atas Bawah
•
Orientasi Empat Arah Angin
a.
Orientasi
Timur Barat
•
Timur adalah matallo, tempat terbitnya matahari
yang memiliki makna bahagia, terang dan sumber
kehidupan.
•
Alu’matallo
adalah upacara kebahagiaan. Perangkat upacara disebut
rambu tuka.
•
Barat adalah matampu, tempat matahari terbenam yang
memiliki makna kedukaan, kegelapan dan sumber
kedukaan.
•
Alu’matampu adalah
upacara kedukaan. Perangkat upacara disebut
rambu solo.
b. Orientasi Utara Selatan
•
Utara adalah paling
utama, disebut uluna lino yang berarti kepala dunia. Utara memiliki
makna kepala, depan dan atasan
yang dihormati dan dalam
interior sebagai tempat suci dan terhormat.
•
Selatan disebut pollo’na
lino yang berarti dasar dunia. Selatan memiliki makna kaki, bawahan dan pengikut belakang
serta dalam interior
sebagai tempat kotor.
c. Orientasi Atas Bawah
•
Benua atas, berada di langit,
sebagai laki-laki dan bersifat baik.
•
Benua bawah, berada di bawah air, sebagai wanita
dan bersifat buruk.
•
Benua tengah,
berada di permukaan bumi, diangap sebagai tempat pertemuan benua atas dan bawah dimana
terjadi keharmonisan dan keseimbangan
d.
Orientasi
Empat Arah Angin
Empat arah angin membentuk segi empat dan diproyeksikan sbb :
•
Azas kehidupan tentang kelahiran manusia
•
Azas kehidupan tentang
eksistensi (kehadiarn manusia)
•
Azas kehidupan tentang
pengabdian manusia dalam makrokosmos.
•
Azas kehidupan tentang kematian manusia.
TONGKONAN
Kata Tongkonan menurut Abdul Azis Said dalam
Shandra Stephani (2009), berasal dari kata Tongkon
yang berarti 'tempat duduk', mendapat akhiran 'an' maka menjadi Tongkonan yang
artinya tempat duduk. Dahulu Tongkonan adalah
pusat pemerintahan, kekuasaan adat dan perkembangan kehidupan sosial budaya
masyarakat Tana Toraja. Tongkonan tidak
bisa dimiliki oleh perseorangan, melainkan dimiliki secara turun-temurun oleh
keluarga atau marga suku Tana Toraja.
Dengan
sifatnya yang demikian, Tongkonan dapat diartikan beberapa
fungsi, antara lain pusat budaya, pusat pembinaan keluarga, pembinaan
pera-turan keluarga dan kegotongroyongan, pusat dinami-sator, motivator dan stabilisator sosial, sehingga fungsi Tongkonan tidaklah sekedar sebagi tempat
untuk duduk bersama,
lebih luas lagi meliputi segala aspek kehidupan.
Apabila mempelajari letak dan upacara-upacara yang dilaksanakan, melalui simbol-simbolnya akan diketahui bahwa Tongkonan
adalah simbol sosial dan simbol alam raya. Oleh karena itu, orang
Toraja sangat men"sakral"kan Tongkonan.
Pembagian alam raya berdasarkan kepercayaan Aluk Todolo kemudian menjadi konsep dasar terwujudnya bentukan rumah Tongkonan
seperti yang terlihat pada gambar berikut.
Keterangan gambar:
a. Atap dan bagian muka, terutama bagian ber-bentuk segitiga
dari dinding muka dinamakan sondong para atau
lido puang (wajah dari dewa-dewa),
melambangkan Dunia Atas
b. Dunia Tengah, dunia dari manusia; bagian muka sebelah
utara paling berhubungan dengan “bagian dari matahari terbit‟ (untuk upacara di
bagian timur)
c. Dunia bawah: Sama seperti Pong Tulak Padang memegang dunia di atas, jadi rumah disangga
dengan jiwa yang tinggal dalam Bumi (menurut beberapa orang Toraja, Tulak Padang sendiri yang menyangga rumah)
d. Lubang, yang dibuka pada bagian dalam atap untuk
upacara-upacara dari sebelah timur.
Kata Tongkonan menurut Abdul Azis Said dalam
Shandra Stephani (2009), berasal dari kata Tongkon
yang berarti 'tempat duduk', mendapat akhiran 'an' maka menjadi Tongkonan yang
artinya tempat duduk. Dahulu Tongkonan adalah
pusat pemerintahan, kekuasaan adat dan perkembangan kehidupan sosial budaya
masyarakat Tana Toraja. Tongkonan tidak
bisa dimiliki oleh perseorangan, melainkan dimiliki secara turun-temurun oleh
keluarga atau marga suku Tana Toraja.
Dengan
sifatnya yang demikian, Tongkonan dapat diartikan beberapa
fungsi, antara lain pusat budaya, pusat pembinaan keluarga, pembinaan
pera-turan keluarga dan kegotongroyongan, pusat dinami-sator, motivator dan stabilisator sosial, sehingga fungsi Tongkonan tidaklah sekedar sebagi tempat
untuk duduk bersama,
lebih luas lagi meliputi segala aspek kehidupan.
Apabila mempelajari letak dan upacara-upacara yang dilaksanakan, melalui simbol-simbolnya akan diketahui bahwa Tongkonan
adalah simbol sosial dan simbol alam raya. Oleh karena itu, orang
Toraja sangat men"sakral"kan Tongkonan.
Pembagian alam raya berdasarkan kepercayaan Aluk Todolo kemudian menjadi konsep dasar terwujudnya bentukan rumah Tongkonan
seperti yang terlihat pada gambar berikut.
PENATAAN RUANG
Rumah bagi
masyarakat Toraja adalah cerminan penghayatan religi, sebagai bentuk pemahaman
sederhana terhadap alam semesta (Dewi, 2003). Bentukan geometris ruang selalu
dikaitkan dengan fenomena alam. Konsep hirarki rumah Toraja (banua) terdiri dari tiga bagian
berdasarkan hirarkinya, yakni bagian atas, bagian tengah dan bagian bawah.
1) Bagian atas, loteng (langi)
merupakan dunia/alam atas yang melambangkan sorga dan dianggap paling
sakral; 2) Ruang tengah merupakan ruang dunia kehidupan manusia (padang); 3) Ruang bawah rumah/kolong
merupakan dunia bawah, tempat kehidupan makhluk setan; 4) Kaki bangunan paling
bawah akan ditopang pada kepala dewa Pong Tulak Padang; 5) Sementara dewa
tertinggi, Puang Matua, bertempat di
alam sorga teratas (ulunna langi) dan
ini disimbolkan dengan matahari dan pergerakannya; 6) Rumah bangsawan suku Toraja, terdapat ruang tengah di kaki rumah yang tidak difungsikan, disimbolkan sebagai
riri posi atau tempat tali pusar; 7) Pada badan rumah terdapat ruang yang menjadi orientasi (axis mundi), atau disimbolkan sebagai
pusat alam semesta (petuo), dalam satu
sumbu vertikal dengan ruang di atasnya.
Ruang di bawah rumah (kaki panggung) dianggap
sebagai ruang yang sangat berbahaya, terdapat kekuatan
yang dapat mengganggu kehidupan manusia; 8) Padi dan air sebagai sumber
kehidupan terdapat di sebelah utara rumah; 9) Tapak rumah akan dibangun mengikuti aliran sungai
Sa’dan. Aliran sungai dari arah utara ke selatan
juga merupakan salah satu sumbu orientasi
perumahan suku Toraja pada umumnya,
selain juga mengikuti orientasi timur-barat sesuai lintasan pergerakan
matahari; 10) Laut terdapat di bagian selatan dengan latar belakang Pulau Pongko, asal nenek moyang masyarakat
Toraja sebelumnya; 11) Kuburan juga diletakkan di sebelah selatan;
12) berdekatan dengan
gunung Bamba Puang yang
legendaris itu; 13) Kuburan bagi para bangsawan
diposisikan lebih tinggi daripada kuburan masyarakat biasa. Kuburan ini
dikelilingi oleh pohon kelapa untuk membantu para roh mencapai alam atas.
Rumah suku
Toraja diletakkan sesuai orientasi utara-selatan. 14) Bagian rumah yang
dianggap paling sakral adalah bagian loteng paling utara (lindo puang), sebagai pengejawantahan wajah pemilik rumah itu, sekaligus juga pintu masuk para dewa ke dalam rumah. Pada sisi rumah sebelah
selatan dan sisi lainnya disimbolkan
sebagai kematian, seperti juga sisi barat, tempat matahari terbenam; 15)
Jenasah diposisikan di sebelah barat rumah dengan
kepala di selatan,
melambangkan pulau kematian
yang berada di sebelah selatan. Kondisi ini hanya dilakukan pada saat upacara menjelang
pemakaman. Jenasah kemudian diposisikan di timur-barat, dan diperlakukan seolah
jenasah itu masih hidup; 16) Upacara ini merupakan upacara terpenting, akhirnya
jenasah dikeluarkan melalui
pintu yang terletak
di sisi barat rumah. Sisi selatan dan sisi
barat juga dilambangkan sebagai tempat leluhur dan tempat peninggalan benda- benda pusaka; 17) Ada juga yang
meletakkannya di sudut tenggara ruangan; 18) Sebelah timur rumah merupakan
tempat aktivitas para penghuni, dilambangkan sebagai jantung.
Menurut
Azis Said dalam Shandra Stephani (2009), rumah Tongkonan terdiri atas ruang-ruang
yang berjejer dari utara ke selatan dan berbentuk persegi panjang. Ruang pada
bagian badan Tongkonan terbagi atas
tiga bagian, yaitu:
-
Ruang bagian depan (Tangdo‟) disebut kale banua menghadap bagian utara. Tempat penyajian
kur-ban pada upacara persembahan dan
pemujaan kepada Puang Matua.
-
Ruang tengah (Sali) lebih luas dan agak rendah dari ruang lainnya. Terbagi atas
bagian kiri (barat) tempat sajian kurban hewan dalam upacara Aluk Rambu Solo’ dan bagian kanan (timur)
tempat sajian kurban persembahan dalam upacara
Aluk Rambu Tuka’.
-
Ruang belakang (Sumbung) disebut pollo banua (ekor rumah)
berada dibagian selatan, tempat masuknya penyakit.
Selain itu, pola penataan
ruangnya berdasarkan pada pembagian keempat titik mata-angin seperti yang
terlihat pada gambar berikut ini.
Penataan
ruang disusun sedemikian rupa untuk mempermudah pelaksanaan ritual di dalam tongkonan yang terletak pada tata letak
penyajian hidangan yang mengikuti arah Timur-Barat menurut kepercayaan Aluk Todolo. Pada upacara rambu tuka’, sajiannya dihidangkan di
bagian timur sedangkan untuk upacara rambu
solo’, sajiannya dihidangkan di bagian Barat dalam Tongkonan.
Berikut
penjabaran dari perwujudan kepercayaan Aluk
Todolo pada tiap ruang dalam dari Tongkonan,
yaitu Bagian Utara, Selatan, Timur dan Barat:
- Bagian Utara Tongkonan disebut Ulunna lino (kepala
dunia) atau lindo puang (wajah
raja-raja). Bagian ini dikonotasikan sebagai kepala, bagian depan, atasan,
bagian yang dihormati, dan dianggap sebagai tempat suci tempat bersemayamnya Puang Matua sekaligus sebagai tempat
dewa memasuki rumah. Areal ini terletak pada bagian depan Tongkonan dan dalam pelaksanaan ritual berfungsi untuk upacara
persembahan dan pemu-jaan kepada Puang Matua.
- Bagian Selatan disebut pollo ‘na
lino (ekor dunia) dikonotasikan sebagai kaki, bawahan, ekor, pengikut dan
tempat kotor. Di selatan bagi masyarakat Toraja, terdapat alam Puya tempat roh-roh orang yang telah
meninggal dan dijaga oleh Pong Lalondong.
Bagian ini digunakan sebagai tempat ruang tidur bagi anggota keluarga yang mana
posisi kepala menurut kepercayaan mereka harus
menghadap ke utara untuk memperoleh berkah dari Puang Matua agar terhindar dari segala jenis penyakit.
- Bagian Barat tempat terbenamnya matahari (rampe matampua), merujuk pada “kematian‟ dan mewakili unsur gelap,
kedukaan, dan semua hal yang mendatangkan kesusahan. Bagian barat ruang ini
secara religius berfungsi sebagai tempat membaringkan tubuh mayat dengan kepala
menghadap ke selatan tempat alam Puya berada dan tempat upacara pertama
orang mati yang dilakukan dalam Tongkonan.
Selain itu, juga berfungsi sebagai tempat pemujaan Tomembali Puang (arwah para leluhur yang telah menjadi dewa atau
biasanya disebut todolo) dalam
pelaksanaan ritual Aluk Rambu Solo’ dan
terletak pada sisi kiri ruang dalam Tongkonan.
Bagian Timur dan Barat terletak pada sisi kanan dan kiri dari ruang tengah.
Pembagian antara bagian kanan dan kiri ditandai dengan pata’ (kayu melintang dari ruang depan ke belakang dan membagi
badan rumah secara simetris yang terdapat pada
lantai).
Rumah bagi
masyarakat Toraja adalah cerminan penghayatan religi, sebagai bentuk pemahaman
sederhana terhadap alam semesta (Dewi, 2003). Bentukan geometris ruang selalu
dikaitkan dengan fenomena alam. Konsep hirarki rumah Toraja (banua) terdiri dari tiga bagian
berdasarkan hirarkinya, yakni bagian atas, bagian tengah dan bagian bawah.
1) Bagian atas, loteng (langi)
merupakan dunia/alam atas yang melambangkan sorga dan dianggap paling
sakral; 2) Ruang tengah merupakan ruang dunia kehidupan manusia (padang); 3) Ruang bawah rumah/kolong
merupakan dunia bawah, tempat kehidupan makhluk setan; 4) Kaki bangunan paling
bawah akan ditopang pada kepala dewa Pong Tulak Padang; 5) Sementara dewa
tertinggi, Puang Matua, bertempat di
alam sorga teratas (ulunna langi) dan
ini disimbolkan dengan matahari dan pergerakannya; 6) Rumah bangsawan suku Toraja, terdapat ruang tengah di kaki rumah yang tidak difungsikan, disimbolkan sebagai
riri posi atau tempat tali pusar; 7) Pada badan rumah terdapat ruang yang menjadi orientasi (axis mundi), atau disimbolkan sebagai
pusat alam semesta (petuo), dalam satu
sumbu vertikal dengan ruang di atasnya.
Ruang di bawah rumah (kaki panggung) dianggap
sebagai ruang yang sangat berbahaya, terdapat kekuatan
yang dapat mengganggu kehidupan manusia; 8) Padi dan air sebagai sumber
kehidupan terdapat di sebelah utara rumah; 9) Tapak rumah akan dibangun mengikuti aliran sungai
Sa’dan. Aliran sungai dari arah utara ke selatan
juga merupakan salah satu sumbu orientasi
perumahan suku Toraja pada umumnya,
selain juga mengikuti orientasi timur-barat sesuai lintasan pergerakan
matahari; 10) Laut terdapat di bagian selatan dengan latar belakang Pulau Pongko, asal nenek moyang masyarakat
Toraja sebelumnya; 11) Kuburan juga diletakkan di sebelah selatan;
12) berdekatan dengan
gunung Bamba Puang yang
legendaris itu; 13) Kuburan bagi para bangsawan
diposisikan lebih tinggi daripada kuburan masyarakat biasa. Kuburan ini
dikelilingi oleh pohon kelapa untuk membantu para roh mencapai alam atas.
Rumah suku
Toraja diletakkan sesuai orientasi utara-selatan. 14) Bagian rumah yang
dianggap paling sakral adalah bagian loteng paling utara (lindo puang), sebagai pengejawantahan wajah pemilik rumah itu, sekaligus juga pintu masuk para dewa ke dalam rumah. Pada sisi rumah sebelah
selatan dan sisi lainnya disimbolkan
sebagai kematian, seperti juga sisi barat, tempat matahari terbenam; 15)
Jenasah diposisikan di sebelah barat rumah dengan
kepala di selatan,
melambangkan pulau kematian
yang berada di sebelah selatan. Kondisi ini hanya dilakukan pada saat upacara menjelang
pemakaman. Jenasah kemudian diposisikan di timur-barat, dan diperlakukan seolah
jenasah itu masih hidup; 16) Upacara ini merupakan upacara terpenting, akhirnya
jenasah dikeluarkan melalui
pintu yang terletak
di sisi barat rumah. Sisi selatan dan sisi
barat juga dilambangkan sebagai tempat leluhur dan tempat peninggalan benda- benda pusaka; 17) Ada juga yang
meletakkannya di sudut tenggara ruangan; 18) Sebelah timur rumah merupakan
tempat aktivitas para penghuni, dilambangkan sebagai jantung.
Menurut
Azis Said dalam Shandra Stephani (2009), rumah Tongkonan terdiri atas ruang-ruang
yang berjejer dari utara ke selatan dan berbentuk persegi panjang. Ruang pada
bagian badan Tongkonan terbagi atas
tiga bagian, yaitu:
-
Ruang bagian depan (Tangdo‟) disebut kale banua menghadap bagian utara. Tempat penyajian
kur-ban pada upacara persembahan dan
pemujaan kepada Puang Matua.
-
Ruang tengah (Sali) lebih luas dan agak rendah dari ruang lainnya. Terbagi atas
bagian kiri (barat) tempat sajian kurban hewan dalam upacara Aluk Rambu Solo’ dan bagian kanan (timur)
tempat sajian kurban persembahan dalam upacara
Aluk Rambu Tuka’.
-
Ruang belakang (Sumbung) disebut pollo banua (ekor rumah)
berada dibagian selatan, tempat masuknya penyakit.
Selain itu, pola penataan
ruangnya berdasarkan pada pembagian keempat titik mata-angin seperti yang
terlihat pada gambar berikut ini.
Penataan
ruang disusun sedemikian rupa untuk mempermudah pelaksanaan ritual di dalam tongkonan yang terletak pada tata letak
penyajian hidangan yang mengikuti arah Timur-Barat menurut kepercayaan Aluk Todolo. Pada upacara rambu tuka’, sajiannya dihidangkan di
bagian timur sedangkan untuk upacara rambu
solo’, sajiannya dihidangkan di bagian Barat dalam Tongkonan.
Berikut
penjabaran dari perwujudan kepercayaan Aluk
Todolo pada tiap ruang dalam dari Tongkonan,
yaitu Bagian Utara, Selatan, Timur dan Barat:
- Bagian Utara Tongkonan disebut Ulunna lino (kepala
dunia) atau lindo puang (wajah
raja-raja). Bagian ini dikonotasikan sebagai kepala, bagian depan, atasan,
bagian yang dihormati, dan dianggap sebagai tempat suci tempat bersemayamnya Puang Matua sekaligus sebagai tempat
dewa memasuki rumah. Areal ini terletak pada bagian depan Tongkonan dan dalam pelaksanaan ritual berfungsi untuk upacara
persembahan dan pemu-jaan kepada Puang Matua.
- Bagian Selatan disebut pollo ‘na
lino (ekor dunia) dikonotasikan sebagai kaki, bawahan, ekor, pengikut dan
tempat kotor. Di selatan bagi masyarakat Toraja, terdapat alam Puya tempat roh-roh orang yang telah
meninggal dan dijaga oleh Pong Lalondong.
Bagian ini digunakan sebagai tempat ruang tidur bagi anggota keluarga yang mana
posisi kepala menurut kepercayaan mereka harus
menghadap ke utara untuk memperoleh berkah dari Puang Matua agar terhindar dari segala jenis penyakit.
- Bagian Barat tempat terbenamnya matahari (rampe matampua), merujuk pada “kematian‟ dan mewakili unsur gelap,
kedukaan, dan semua hal yang mendatangkan kesusahan. Bagian barat ruang ini
secara religius berfungsi sebagai tempat membaringkan tubuh mayat dengan kepala
menghadap ke selatan tempat alam Puya berada dan tempat upacara pertama
orang mati yang dilakukan dalam Tongkonan.
Selain itu, juga berfungsi sebagai tempat pemujaan Tomembali Puang (arwah para leluhur yang telah menjadi dewa atau
biasanya disebut todolo) dalam
pelaksanaan ritual Aluk Rambu Solo’ dan
terletak pada sisi kiri ruang dalam Tongkonan.
Bagian Timur dan Barat terletak pada sisi kanan dan kiri dari ruang tengah.
Pembagian antara bagian kanan dan kiri ditandai dengan pata’ (kayu melintang dari ruang depan ke belakang dan membagi
badan rumah secara simetris yang terdapat pada
lantai).
ORNAMEN
Ornamen
dalam bahasa Toraja disebut passuraq,
yang berasal dari akar kata suraq sinonim
dengan kata surat, yang artinya, berita, tulisan atau gambaran (Anwar Thosibo, 2011). Etnis Toraja menggambar passuraq sama seperti bentuk aslinya (einmalig) yang memiliki artikulasi. Artikulasi passuraq ternyata identik
dengan tulisan, namun bukan
dalam modus seperti alphabet Latin atau hiragana
Jepang tetapi dalam representasi yang lain yaitu karya seni ukir kayu yang
di dalam obyek gambarnya memiliki tataran ikonis dan tataran plastis.
Pada tataran
ikonis, gambar passuraq diandaikan
mewakili obyek tertentu yang dapat diketahui melalui persepsi dunia-hidup
sehari-hari yang masih berlangsung, sementara pada tataran plastis, kualitas
ekspresi gambar passuraq berguna
untuk menyampaikan konsep-konsep yang abstrak. Seperti halnya bahasa tulisan, passuraq merupakan “sistem pembuka dan
penyimpan makna” realitas masyarakat Toraja, karena itu maka passuraq tidak
sekedar komunikatif tetapi juga sebagai tempat kreatifitas seni. Dalam
kapasitas seni inilah pribadi passuraq -
sebagai seorang perupa dan seorang sejarawan - memiliki kebebasan
untuk merefleksikan apa yang dilihat
dan dialami dalam dunia imajinasinya.
Menurut
Kornelius Kadang dalam Anwar Thosibo (2011) menyatakan bahwa terdapat kurang
lebih 125 motif gambar passuraq yang
pernah diciptakan, yang masing-masing menggambarkan realitas kehidupan dan ada
75 motif hanya dikhususkan untuk Tongkonan. etnis Toraja mengklasifikasi gambar passuraq ke
dalam 4 kategori berdasarkan ketentuan
adat.
Pertama
dinamakan Garontok Passuraq, yaitu
gambar utama dan dianggap sebagai pangkal atau dasar untuk memahami budaya
Toraja. Kedua dinamakan Passuraq Todolo,
dianggap sebagai penggambaran realitas hidup orang dewasa sejak berkeluarga
sampai kakek nenek. Ketiga dinamakan Passuraq
Malollek, yaitu penggambaran realitas hidup kelompok remaja muda mudi.
Keempat dinamakan Passuraq Pakbarean, dianggap
sebagai penggambaran berbagai aneka macam kehidupan yang berhubungan dengan
suasana yang penuh kegembiraan dan kesenangan pada masa kanak-kanak.
Contoh Ukiran/ Passurak Toraja (Wegymantung,
2009)
Pa’tedong (ukiran kepala kerbau) Melambangkan
kesejahteraan dan kemakmuran.
Ne’Limbongan (menggambarkan danau). Mengandung arti
Orang Toraja bertekad mendapat rejeki dari empat penjuru angin bagaikan mata
air yang menyatu di satu danau.
Pa’bulu Lodong (rumbai
ayam jago) Mengandung makna
keperkasaan dan kearifan
Pa’Barre Alo (ukiran matahari) Melambangkan kebesaran dan kebanggaan bagi orang Toraja.
Pa’Bambo Uai (binatang
air yang berenang) Bermakna manusia harus cepat dan
tepat dalam melaksanakan pekerjaan, tetapi dengan hasil berlipat dan memuaskan.
Padaun Peria (ukiran kuncup bunga peria) Artinya larangan untuk berzinah dan
untuk menjaga kesucian, seperti kuncup bunga peria
Berikut beberapa contoh
aplikasi ornamen/passurak pada Tongkonan (Dewanto, 2011)
Ornamen
dalam bahasa Toraja disebut passuraq,
yang berasal dari akar kata suraq sinonim
dengan kata surat, yang artinya, berita, tulisan atau gambaran (Anwar Thosibo, 2011). Etnis Toraja menggambar passuraq sama seperti bentuk aslinya (einmalig) yang memiliki artikulasi. Artikulasi passuraq ternyata identik
dengan tulisan, namun bukan
dalam modus seperti alphabet Latin atau hiragana
Jepang tetapi dalam representasi yang lain yaitu karya seni ukir kayu yang
di dalam obyek gambarnya memiliki tataran ikonis dan tataran plastis.
Pada tataran
ikonis, gambar passuraq diandaikan
mewakili obyek tertentu yang dapat diketahui melalui persepsi dunia-hidup
sehari-hari yang masih berlangsung, sementara pada tataran plastis, kualitas
ekspresi gambar passuraq berguna
untuk menyampaikan konsep-konsep yang abstrak. Seperti halnya bahasa tulisan, passuraq merupakan “sistem pembuka dan
penyimpan makna” realitas masyarakat Toraja, karena itu maka passuraq tidak
sekedar komunikatif tetapi juga sebagai tempat kreatifitas seni. Dalam
kapasitas seni inilah pribadi passuraq -
sebagai seorang perupa dan seorang sejarawan - memiliki kebebasan
untuk merefleksikan apa yang dilihat
dan dialami dalam dunia imajinasinya.
Menurut
Kornelius Kadang dalam Anwar Thosibo (2011) menyatakan bahwa terdapat kurang
lebih 125 motif gambar passuraq yang
pernah diciptakan, yang masing-masing menggambarkan realitas kehidupan dan ada
75 motif hanya dikhususkan untuk Tongkonan. etnis Toraja mengklasifikasi gambar passuraq ke
dalam 4 kategori berdasarkan ketentuan
adat.
Pertama
dinamakan Garontok Passuraq, yaitu
gambar utama dan dianggap sebagai pangkal atau dasar untuk memahami budaya
Toraja. Kedua dinamakan Passuraq Todolo,
dianggap sebagai penggambaran realitas hidup orang dewasa sejak berkeluarga
sampai kakek nenek. Ketiga dinamakan Passuraq
Malollek, yaitu penggambaran realitas hidup kelompok remaja muda mudi.
Keempat dinamakan Passuraq Pakbarean, dianggap
sebagai penggambaran berbagai aneka macam kehidupan yang berhubungan dengan
suasana yang penuh kegembiraan dan kesenangan pada masa kanak-kanak.
Contoh Ukiran/ Passurak Toraja (Wegymantung,
2009)
Pa’tedong (ukiran kepala kerbau) Melambangkan
kesejahteraan dan kemakmuran.
Ne’Limbongan (menggambarkan danau). Mengandung arti
Orang Toraja bertekad mendapat rejeki dari empat penjuru angin bagaikan mata
air yang menyatu di satu danau.
Pa’bulu Lodong (rumbai
ayam jago) Mengandung makna
keperkasaan dan kearifan
Pa’Barre Alo (ukiran matahari) Melambangkan kebesaran dan kebanggaan bagi orang Toraja.